Etika Bisnis (Makalah Softskill)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sorotan terhadap perkembangan sosial ekonomi belakangan ini semakin marak. Meskipun tak secara terang-terangan, jelas masalah yang hendak dikemukakan adalah praktek dunia usaha yang tak sehat. Membicarakan persoalan moral yang sering dianggap oleh umum sebagai tindakan "sok suci", belakangan mulai bisa dipahami. Banyak seminar, tulisan serta komentar-komentar para cendekiawan mengenai topik-topik krisis moral : korupsi, kolusi, oligopoli, manipulasi dan sebagainya. Bahkan, kini bermunculan lembaga-lembaga sosial yang secara spesifik menangani persoalan etika, seperti etika bisnis dan etika profesi. Fenomena ini menandai adanya suatu kesadaran untuk mencari alternatif solusi persoalan sosial di luar pertimbangan material dan rasional semata, tetapi juga pertimbangan -petimbangan etik.
Orang mulai percaya bahwa krisis politik, ekonomi lingkungan hidup, serta budaya seperti belakangan kita hadapi, bukan saja karena kesalahan epistemologi dan manajemen, tetapi justru berakar pada sikap mental manusia sebagai pelaku. Misalnya, menurut pengamat asing krisis moneter sekarang ini disebabkan oleh melemahnya kepercayaan pasar terhadap perekonomian kita, yang salah satunya tidak transparan. Atas dasar keprihatinan semacam itulah barangkali belakangan ini kita melihat upaya-upaya mencari rumusan-rumusan etika kontemporer yang lebih tepat.
Dalam hal ini etika dalam berbisnis sangat diperlukan demi menjaga kesadaran individu-individu untuk tidak melakukan pelanggaran etika yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Etika dalam berbisnis disini juga sangat diperlukan karena dapat menjaga stabilitas kinerja atau peningkatan moral agar terjadi peningkatan dalam segala aspek bisnis. Hal seperti pengaturan tentang tata cara peningkatan solusi dalam pemecehan masalah bisnis juga merupakan alasan mengapa etika bisnis diperlukan.
Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik atau buruk. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Etika
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, “Ethos”, atau ”Taetha” yang berarti tempattinggal, padang rumput, karakter , watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom).Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moralyang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakankebajikan dan suara hati.
Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki olehindividu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telahdikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:
1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right).
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions).
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty).
4. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.

Etika juga diartikan pula sebagai filsafat moral yang berkaitan dengan studi tentang
tindakan-tindakan baik ataupun buruk manusia di dalam mencapai
kebahagiaannya. Apa yang dibicarakan di dalam etika adalah tindakan manusia,
yaitu tentang kualitas baik (yang seyogyanya dilakukan) atau buruk (yang
seyogyanya dihindari) atau nilai-nilai tindakan manusia untuk mencapai
kebahagiaan serta tentang kearifannya dalam bertindak.

2.2 Definisi Bisnis
Bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi dan
memuaskan kebutuhan dari masyarakat.
Bisnis merupakan seluruh kegiatan yang diorganisasikan oleh orang-orang yang
berkecimpung dalam bidang perniagaan dan industri yang menyediakan barang dan jasa
untuk mempertahankan dan memperbaiki standar serta kualitas hidup mereka.
Peranan bisnis sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat, karena melalui kegiatan
bisnis suatu perusahaan akan dapat memenuhi setiap kebutuhan (needs) keinginan
(wants) dari masyarakat konsumen yang beraneka ragam, sehingga konsumen merasa
terpuaskan (customer satisfactions).
Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggrisbusiness, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat umum, atau serikat pekerja.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata "bisnis" sendiri memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya — penggunaan singular kata bisnis dapat merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk pada sektor pasar tertentu, misalnya "bisnis pertelevisian." Penggunaan yang paling luas merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia barang dan jasa. Meskipun demikian, definisi "bisnis" yang tepat masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.

2.3 Definisi Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari dalam perusahaan itu sendiri. Bisnis selalu berhubungan dengan masalah-masalah etis dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Hal ini dapat dipandang sebagai etika pergaulan bisnis. Seperti halnya manusia pribadi juga memiliki etika pergaulan antar manusia, maka pergaulan bisnis dengan masyarakat umum juga memiliki etika pergaulan yaitu etika pergaulan bisnis. Etika pergaulan bisnis dapat meliputi beberapa hal antara lain adalah :
1. Hubungan antara bisnis dengan langganan / konsumen
Hubungan antara bisnis dengan langgananya merupakan hubungan yang paling banyak dilakukan, oleh karena itu bisnis haruslah menjaga etika pergaulanya secara baik. Adapun pergaulannya dengan langganan ini dapat disebut disini misalnya saja :
a. Kemasan yang berbeda-beda membuat konsumen sulit untuk membedakan atau mengadakan perbandingan harga terhadap produknya.
b. Bungkus atau kemasan membuat konsumen tidak dapat mengetahui isi didalamnya, sehingga produsen perlu menberikan penjelasan tentang isi serta kandungan atau zat-zat yang terdapat didalam produk itu.
c. Pemberian servis dan terutama garansi adalah merupakan tindakan yang sangat etis bagi suatu bisnis. Sangatlah tidak etis suatu bisnis yang menjual produknya yang ternyata jelek (busuk) atau tak layak dipakai tetap saja tidak mau mengganti produknya tersebut kepada pembelinya.

2. Hubungan dengan karyawan
Manajer yang pada umumnya selalu berpandangan untuk memajukan bisnisnya sering kali harus berurusan dengan etika pergaulan dengan karyawannya.Pergaulan bisnis dengan karyawan ini meliputi beberapa hal yakni : Penarikan (recruitment), Latihan (training), Promosi atau kenaikan pangkat, Tranfer, demosi (penurunan pangkat) maupun lay-off atau pemecatan / PHK ( pemutusan hubungan kerja). Didalam menarik tenaga kerja haruslah dijaga adanya penerimaan yang jujur sesuai dengan hasil seleksi yang telah dijalankan. Sering kali terjadi hasil seleksi tidak diperhatikan akan tetapi yang diterima adalah peserta atau calon yang berasal dari anggota keluarga sendiri.
Disamping itu tidak jarang seorang manajer yang mencoba menaikan pangkat para karyawan dari generasi muda yang dianggapnya sangat potensial dalam rangka membawa organisasi menjadi lebih dinamis, tetapi hal tersebut mendapat protes keras dari karyawan dari generasi tua. Masalah lain lagi dan yang paling rawan adalah masalah pengeluaran karyawan atau dropout. Masalah DO atau PHK ini perlu mendapatkan perhatian ekstra dari para manajer karena hal ini menyangkut masalah tidak saja etik akan tetapi juga masalah kemanusian. Karyawan yang di PHK –kan tentu saja akan kehilangan mata pencahariannya yang menjadi tumpuan hidup dia bersama keluarganya.

3. Hubungan antar bisnis
Hubungan ini merupakan hubungan antara perusahaan yang satu dengan perusahan yang lain Hal ini bisa terjadi hubungn antara perusahaan dengan saingannya, dengan penyalurnya, dengan grosirnya, dengan pengecernya, agen tunggalnya maupun distributornya.
Dalam kegiatan sehari-hari tentang hubungan tersebut sering terjadi benturan-benturan kepentingan antar kedunya. Dalam hubungan itu tidak jarang dituntut adanya etika pergaulan bisnis yang baik. Sebagai contoh sebuah penerbit yang ingin menyalurkan buku-buku terbitanya kepada para grosir yang bersedia membeli secara kontan dalam jumlah besar dan kontinyu dengan memperoleh potongan rabat yang sama dengan penyalur.
Rencana ini menjadi kandas karena mendapat protes keras dari para penyalur-penyalurnya yang memandang tindakan penerbit tersebut akan sangat merugikan para penyalur sedangkan omset dari para penyalur sendiri dalam beberapa tahun tidak meningkat. Contoh lain adalah adanya perebutan tenaga kerja ahli atau manajer profesional oleh para pengusaha, persaingan harga yang saling menjatuhkan diantara bisnismen dan sebagainya.

4. Hubungan dengan Investor
Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas dan terutama yang akan atau telah “go publik” harus menjaga pemberian informasi yang baik dan jujur dari bisnisnya kepada para insvestor atau calon investornya.
Informasi yang tidak jujur akan menjerumuskan para investor untuk mengambil keputusan investasi yang keliru. Dalam hal ini perlu mandapat perhatian yang serius karena dewasa ini di Indonesia sedang mengalami lonjakan kegiatan pasar modal. Banyak permintaan dari para pengusaha yang ingin menjadi emiten yang akan menjual sahamnya kepada masyarakat.
Dipihak lain masyarakat sendiri juga sangat berkeinginan untuk menanamkan uangnya dalam bentuk pembelian saham ataupun surat-surat berharga yang lain yang diemisi oleh perusahaan di pasar modal. Oleh karena itu masyarakat calon pemodal yang ingin membeli saham haruslah diberi informasi secara lengkap dan benar terhadap prospek perusahan yang go public tersebut. Jangan sampai terjadi adanya manipulasi atau penipuan terhadap informasi terhadap hal ini.

5. Hubungan dengan Lembaga-Lembaga Keuangan
Hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan terutama jawatan pajak pada umumnya merupakan hubungan pergaulan yang bersifat finansial. Hubungan ini merupakan hubungn yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan yang berupa neraca dan laporan Rugi dan Laba misalnya. Laporan finansial tersebut haruslah disusun secara baik dan benar sehingga tidak terjadi kecendrungan kearah penggelapan pajak misalnya. Keadaan tersebut merupakan etika pergaulan bisnis yang tidak baik.
Pelaksanaan tangungjawab sosial suatu bisnis merupakan penerapan kepedulian bisnis terhadap lingkungan, baik lingkungan alam, teknologi, ekonomi, sosial, budaya,perintah maupun masyarakat Internasional. Bisnis yang menerapkan tanggung jawab sosial itu merupakan bisnis yang menjalankan etika bisnis, sedangkan bisnis yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial itu merupakan penerapan yang tidak etis.
Penerapan etika bisnis ini murupakan penerapan dari konsep “ Stake Holder” sebagai pengganti dari konsep lama yaitu konsep “Stock Holder” . Pengusaha yang menerapkan konsep Stock Holder berusaha untuk mementingkan kepentingan para pemengang saham (Stockholder) saja, di mana para pemegang saham tentu saja akan mementingkan kepentinganya yaitu penghasilan yang tinggi baginya yaitu yang berupa deviden atau pembagian laba serta harga saham dipasar bursa.
Dengan memperoleh deviden yang tinggi maka penghasilan mereka akan tinggi, sedangkan dengan naiknya nilai atau kurs saham akan merupakan kenaikan kekayaan yang dimilikinya yaitu sahamnya itu
dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi. Pemenuhan kepentingan ataupun tuntutan dari para pemengan saham itu sering kali mengabaikan kepentingan – kepentingan pihak-pihak yang lain yang juga terlibat dalam kegiatan bisnis. Pihak lain yang terkait dalam kegiatan bisnis tidak hanya para pemegang saham saja akan tetapi masih banyak lagi seperti :
1. Pekerja/ karyawan
2. Konsumen
3. Kreditur
4. Lembaga-lembaga keuangan
5. Pemerintah.
2.4 Etika bisnis yang baik
Memang diakui oleh Steade et al. (1984: 584) bahwa menunjuk sesuatu secara tepat yang merupakan perilaku bisnis secara etik bukanlah suatu tugas gampang. Dalam hal ini, beberapa penduduk menyamakan perilaku secara etik (ethical behavior) dengan perilaku legal (legal behavior) – yaitu, jika suatu tindakan adalah legal (syah), mereka harus dapat diterima. Kebanyakan penduduk, termasuk manajer, mengakui bahwa batas-batas legal pada bisnis harus dipatuhi. Namun, mereka melihat batas-batas legal ini sebagai suatu titik pemberangkatan untuk perilaku bisnis dan tindakan manajerial. Secara nyata, perilaku bisnis beretika merefleksikan hukum ditambah tindakan etika masyarakat, moral (kesusilaan), dan nilia-nilai seperti digambarkan pada Gambar 1. Pada gilirannya formulasi hukum mengikuti suatu tindak-tanduk etika masyarakat dan hasilnya secara perlahan muncul dua, yaitu adanya suatu hubungan ”give-and take” antara apa yang ”legal” dan apa yang ”cara etik”.


Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Kata etik juga berhubungan dengan objek kelakuan manusia di wilayah-wilayah tertentu, seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada etika sebagai objek perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good) atau buruk (bad)”. Catatan tanda kutip pada kata-kata baik dan buruk, yang berarti menekankan bahwa penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Akhirnya, keputusan bahwa manajer membuat tentang pertanyaan yang bekaitan dengan etika adalah keputusan secara individual, yang menimbulkan konskuensi. Keputusan ini merefleksikan banyak faktor, termasuk moral dan nilai-nilai individu dan masyarakat. Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain (Dalimunthe, 2004).
Etika dan moral (moralitas) sering digunakan secara bergantian dan dipertukarkan karena memiliki arti yang mirip. Ini mungkin karena kata Greek ethos dari mana ”ethics” berasal dan kata latin mores dari mana ”morals” diturunkan keduanya artinya kebiasaan (habit) atau custom (adat). Namun moral (morals) berbeda dari etika (ethics), yang mana di dalam moralitas terkandung suatu elemenelemen normatif yang tidak dapat dielakkan/dihindari (inevitable normative elements). Dengan demikian, moral berhubungan dengan pembicaraan tidak hanya apa yang dikerjakan, tapi juga apa masyarakat seharusnya dikerjakan dan dipercaya.
Elemen-elemen normatif ini, atau ”keharusan (oughtness)”, konflik dengan aspek-aspek perubahan etika bisnis. Nilai-nilai (values) adalah standar kultural dari perilaku yang diputuskan sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan demikian, pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai dalam pembuatan keputusan secara etik apakah mereka menyadarinya atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis ditantang meningkatkan sensitivitas mereka terhadap permasalahan etika. Mereka menekankan pada evaluasi secara kritis prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini pantas dengan realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.

2.5 Etika bisnis dalam praktek
Berbagai kekuatan dan dorongan mempengaruhi perilaku manusia, diantaranya kekuatan dan dorongan yang datang dari luar dirinya (negara, masyarakat, kelompok, pribadi), dan kekuatan dan dorongan yang timbul dari alam (cuaca, keadaan alam, polusi udara), serta kekuatan dan dorongan yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri (sifat azasi, mental, spiritual).
Kekuatan yang mempengaruhi perilaku manusia dari luar dirinya diantaranya adalah sistem hukum, yang dengan disertai ancaman berupa sanksi yang akan dijatuhkan oleh pihak penguasa, berupa paksaan bagi manusia untuk mengikuti standar-standar perilaku tertentu dalam rangka membentuk suatu tatanan dan ketertiban dalam hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Beberapa ahli menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang demokratis, kekuasaan memaksa yang mempunyai otoritas atas pihak lain (misalnya ketentuan-ketentuan hukum) adalah berasal dari dan didasarkan pada kemauan yang datang dari pihak yang dikuasai. Pandangan-pandangan tersebut berasal dari teori-teori kontrak sosial. Selanjutnya, di antara hal-hal yang secara internal mempengaruhi perilaku manusia pribadi adalah opini manusia terhadap dirinya sendiri, baik yang timbul dari diri sendiri maupun opini yang diterima dari orang lain. Di dalam kategori orang lain termasuk orang tua, anak-anak, keluarga, teman dan semua orang lain yang tidak terdefinisikan, oleh karena itu kadang-kadang banyak orang yang memandangnya sebagai sesuatu yang mencemaskan.
Sebagian besar opini tersebut terbentuk dari suatu sistem yang membimbing manusia dalam menilai suatu hubungan atau tindakan, sistem inilah yang disebut dengan “etika.”
Pendekatan umum dalam pembahasan masalah etika bisnis dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan: “apakah suatu perusahaan yang menjalankan bisnis, sebagai badan hukum, merupakan badan hukum privat atau badan hukum publik?” Pembedaan ini perlu, karena bila kita memandang perusahaan sebagai badan hukum privat, maka perusahaan dapat diperlakukan sebagai subjek hukum privat, dengan demikian, perusahaan dapat bertindak untuk dirinya sendiri, meskipun kewajiban tersebut dapat diperpanjang jangkauannya atas kewajibannya untuk kepentingan orang lain.
Tambahan pula, sebagai badan hukum privat suatu perusahaan berhak untuk mendapat perlindungan hukum sebagai orang pribadi lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan dapat pula ia memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Di samping itu, bila kita memandang perusahaan sebagai badan hukum publik, maka keadaan ini menjadi sebaliknya, perusahaan mempunyai kewajiban bukan hanya kepada pemegang sahamnya, tapi juga kepada masyarakat pada umumnya, mereka mempunyai kewajiban umum kepada publik meskipun mereka akhirnya laba yang akan diterima akan berkurang. Menurut pandangan ini, segala keputusan yang diambil perusahaan menjadi objek bagi penilaian oleh masyarakat, dan harus dibatalkan bila ternyata tidak memenuhi standar-standar yang ditentukan secara umum.
Etika merupakan suatu kehendak yang sistematik melalui penggunaan alasan untuk mempelajari bentuk-bentuk moral dan pilihan-pilihan moral yang dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan hubungan dengan orang lain. Dalam diskusi tentang etika bisnis, titik pandang harus difokuskan kepada suatu kelompok dan situasi tertentu, misalnya pada lingkungan bisnis teknik-teknik evaluasi diarahkan kepada perbuatan yang ada di dalam lingkungan yang mempunyai tujuan-tujuan bisnis.
Keputusan dari seorang dokter untuk tidak memberikan informasi yang kesehatan pasiennya kepada pihak lain; dilema yang dialami seorang pengacara dalam menangani benturan kepentingan dengan kliennya; ataupun tanggung jawab seorang pelaku bisnis dalam pemasaran produk yang mengandung bahaya menimbulkan pertanyaan yang sama yaitu apakah yang dimaksud dengan benar, salah, baik, atau buruk? Apakah yang merupakan pilihan etika? Dan dalam perbuatan yang bagaimana seseorang seharusnya sampai kepada suatu keputusan untuk melakukan tindakan? Etika adalah cabang dari filsafat yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, dengan makhluk lain, dan dengan lingkungan alam. Dengan didasari oleh filsafat, studi mengenai etika mencari pengertian tentang kebenaran dan prinsip-prinsip dasar yang memberi bimbingan untuk mendapat pengertian tentang dunia ini.
Banyak teori dan pelajaran tentang etika (contohnya adalah filsafat terapan) yang mengevaluasi masalah-masalah moral. Di antaranya adalah teori-teori Aristotelianisme, consequentialisme, instrumentalisme, hedonisme, egoisme, altruisme, utilitarianisme, deontologisme, dan etika Kantian.
Teleological ini dianut oleh pengikut utilitarianisme, di antara para pemukanya terdapat Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1973). Termasuk pula di dalam analisis teleological ini adalah pandangan dari filsuf kontemporer John Rawls yang dinamakan “veil of ignorance”, didasarkan kepada prinsip distributive justice.
Ahli fisafat terapan yang mengadopsi pendekatan Kantian menganut pandangan Deontological, yaitu pandangan yang berbasis proses pengambilan keputusan dalam menentukan suatu perbuatan. Pemukanya di antaranya adalah filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804)
Secara praktis, pandangan-pandangan ini berhubungan dengan kegiatan dalam menguji suatu perbuatan dengan hati-hati. Banyak ahli yang percaya bahwa kedua pendekatan ini dapat digunakan sebagai analisis pemecahan problem moral.
Banyak orang yang mungkin secara tidak sadar mempraktekkan pendekatan teleological terhadap etika dalam memutuskan dilema moral. Utilitarianisme adalah bentuk etika teleological yang lebih familiar dikenal oleh pelaku-pelaku bisnis yang memusatkan pandangannya terhadap masalah “the bottom line”.Keputusan-keputusan bisnis diambil dengan pandangan yang dipusatkan kepada akibat yang mungkin timbul atau konsekuensi apabila terjadi pertentangan di antara keputusan-keputusan itu, pertanyaan yang selalu diajukan adalah tentang “apa yang terbaik bagi perusahaan?”
Jika pelaku bisnis, yang merupakan suatu badan hukum yaitu perusahaan, mempertimbangkan hanya bagaimana agar suatu tindakan akan memberikan keuntungan yang besar, maka hal ini adalah merupakan pandangan utilitarianisme. Utilitarianisme dalam hal ini dikenal sebagai salah satu dari pandangan dengan analisis laba-rugi (cost-benefit).
Menurut pandangan utilitarianisme, kerangka yang harus digunakan dalam rangka mempertimbangkan suatu tindakan yang akan diambil, harus didasarkan pada perhitungan atas akibat atau konsekuensi dari tindakan itu. Tujuannya adalah untuk memilih alternatif yang menghasilkan “yang paling baik bagi kelompok terbesar.” Akan tetapi, pandangan ini dihadapkan kepada dua pertanyaan yang sangat penting, yaitu untuk mencapai tujuan, seseorang harus mampu untuk mengidentifikasi apa yang paling“baik” dan siapa yang merupakan kelompok “terbesar” dalam setiap transaksi termasuk pula akibat setiap pemutusan kontrak bisnis terhadap karyawannya yang kemungkinan akan kehilangan pekerjaan atau setidaknya kekurangan penghasilan karena berkurangnya produksi dan seterusnya mempertimbangkan akibat tersebut terhadap keluarga karyawan.
Pemikiran etika yang berbasis kewajiban adalah deontology, yaitu suatu pandangan dimana keputusan tentang suatu tindakan harus diambil dengan dasar adanya kewajiban, bukan dengan dasar akibat atau konsekuensi dari keputusan itu. Pendekatan ini sering pula dinamakan pendekatan “kewajiban demi kepentingan kewajiban“. Para penganut pandangan ini harus menerapkan keahlian dan pemikiran untuk menemukan bentuk bahasan tentang kewajiban tersebut dan mengidentifikasi manfaatnya.
Kant mengemukakan anggapan bahwa tidak ada satupun di dunia ini - tentunya juga tidak ada di luar dunia - yang dapat dibentuk sesuatu yang dinamakan baik tanpa kualifikasi yang lain daripada ‘itikad baik’. Dalam pandangannya itikad baik adalah niat yang rasional, dan niat yang rasional adalah sesuatu yang bekerja secara konsisten dan tidak mengalami kontradiksi. Prinsip konsistensi ini menghasilkan suatu ujian yang dapat mengenali kewajiban seseorang yaitu kategori imperatif atau hukum yang universal. Menurut kategori imperatif ini, kewajiban seseorang dalam suatu keadaan tertentu akan menjadi jelas bila seorang bertanya: apakah keputusan seseorang dapat di jadikan universal tanpa ada kontradiksi apabila di adopsi oleh orang lain dalam situasi yang sama tanpa membuat suatu pengecualian.
Bagi penganut pendekatan Kantian perilaku membuat janji palsu adalah pelanggaran terhadap hukum umum yang telah diakui secara universal. Secara rasional seseorang tidak boleh menginginkan untuk dapat secara bebas membuat janji palsu. Keadaan ini tidak dapat dijadikan kaedah yang universal, dan seseorang tidak dapat membuat suatu pengecualian khusus bagi dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, mengambil milik orang lain meskipun dalam situasi seperti itu adalah berarti mengancam pemilik barang tersebut dan tidak menghargai kehormatan pemiliknya.
Kaum Utilitarian mengemukakan alasan bahwa hal yang baik yang dapat diikuti mungkin adalah apa yang dapat merupakan kesempatan agar bisnis berjalan lancar dan para pekerja yang membutuhkan dapat dipekerjakan. Hal yang buruk adalah bila perusahaan tidak mendapat pembayaran, para pekerjanya akan menderita, dan, bila pengamatnya adalah seorang Utilitarian, akibat buruk akan datang dari pihak lain yang menganggap bahwa seseorang dapat membuat janji palsu dengan tidak melakukan pembayaran.
Seorang filsuf modern, W.D Ross, memberikan suatu versi deontology yang mendefinisikan kewajiban sebagai suatu tindakan mengambil tanggungjawab atas kedua kewajiban yang murni dan kewajiban-kewajiban untuk menghasilkan akibat yang terbaik. Ross mengenali bahwa suatu hubungan tertentu adalah lebih penting daripada yang lainnya dan bahwa suatu akibat tertentu akan lebih utama dari yang lainnya. Dalam hal terjadi pertentangan kewajiban, Ross menganjurkan untuk menilai konsekuensi dan membuat prioritas dari kewajiban kewajiban untuk mengantisipasinya.
Pendekatan ini dirumuskan oleh John Rawls, seorang pendukung teori Landasan Hak, yang penelitiannya diarahkan kepada eksplorasi konsep keadilan. Namun demikian, hasil karyanya sendiri bersandar kepada penggunaan analisis etika dan sudah diterapkan secara luas sebagai alat dalam pendidikan etika bisnis.
Rawls mengarahkan kepada suatu test hipotesa mental yang dapat digunakan untuk menentukan apa yang dinamakan “adil.” Ketika diminta untuk memberikan keputusan yang mempunyai dimensi etika, langkah pertama yang harus diambil adalah menuju ke balik “veil of ignorance” (tirai pengabaian). Dengan melakukan hal itu, maka orang akan mengetahui bukan saja statusnya, tetapi juga akan tahu bagaimana akibat dari suatu keputusan akan membawa dampak kepada dirinya secara pribadi. Kemudian akan dapat dilakukan pendekatan pada masalah ini dengan mengajukan suatu pertanyaan yang sederhana: apa yang akan timbul sebagai keadilan yang rasional, dalam kasus tertentu itu dan pada prinsip-prinsip umum? Jawabannya, sebagaimana diajukan oleh teori ini, tidak akan berpihak, karena keadaan lingkungan pribadi telah dikesampingkan.
Ada beberapa cara yang berbeda untuk mempelajari perilaku dalam hal pengambilan keputusan moral. Bila kita melihat ke dalam situasi bisnis, maka aspek-aspek dari ketiga pendekatan (utilitarian-teleologocal, deontological, dan pendekatan Rawls) akan muncul. Proses untuk mengajukan pertanyaan yang dianjurkan oleh masing-masing metode cenderung untuk menstimulasi pertimbangan yang mungkin semula tidak diambil seseorang.
Hukum tidak selalu lebih lambat daripada etika. Dengan tidak menyampingkan hambatan-hambatan yang sering menjadi preseden, hukum juga dapat berubah untuk mengakomodir pergeseran nilai-nilai tertentu yang mengikuti prinsip moral yang lebih jelas. Akhir-akhir ini, di beberapa bidang hukum, pihak legislatif dan pengadilan telah menunjukkan kemauan untuk bertindak sebagai sponsor dan penegak hukum yang mengharuskan standar perilaku yang lebih tinggi. (contohnya kewajiban CSR bagi setiap perusahaan di Undang-Undang PT yang baru).
Kebanyakan aturan hukum berada di bawah tingkatan tuntutan etika, akan tetapi, dalam kenyataan hukum ikut mendorong meningkatnya tuntutan etika. Ini adalah dapat dimengerti apabila kita mempelajari perilaku menurut “tingkat perkembangan moral” yang diajukan oleh Lawrence Kohlberg, seorang psikolog terkemuka di Amerika.
Observasi yang dilakukan Kohlberg menawarkan pandangan bagaimana para manajer bisnis berperilaku. Pandangan tersebut kira-kira sebagai berikut: bila suatu tindakan yang dilakukan merupakan hal yang “legal” maka tindakan itu pasti “baik“.
Masalah ini menimbulkan pertanyaan yang menarik tentang etika yang diterapkan pengacara dan kliennya bila mereka menangani atau terlibat dalam litigasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa banyak cara untuk memenangkan gugatan hukum atau mengambil keuntungan dalam negosiasi yang mengandung dampak di bidang etika. Sudah tentu motif etika ini ada karena hukum menyediakan berbagai teknik yang menentukan keberhasilan dalam suatu gugatan hukum.
Apa yang dapat ditarik dari fenomena berikut ini? Dalam kenyataan sering terjadi bahwa pengusaha yang selalu menjalankan bisnisnya dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika: melakukan penipuan, persaingan yang tidak sehat, bisnis yang curang, dan melakukan “pencurian”, namun tidak pernah tertangkap dan menjadi kaya serta berumur panjang dan akhirnya meninggal dunia dengan wajar pada usia lanjut.
Sebaliknya, terdapat pengusaha yang menjalankan bisnis dengan penuh etika, namun kemudian mempunyai anak yang menderita leukemia, dan di antaranya ada yang kehilangan pekerjaan akibat merger perusahaannya, bahkan ada pula yang menjadi cacat akibat ditabrak oleh pengendara mobil yang sedang mabuk dan mati dalam usia yang relatif muda.
Dalam kegiatan bisnis sehari-hari sangat mudah untuk menyebut etika bisnis, namun sulit sekali untuk menerapkannya. Dalam lingkungan bisnis yang semakin kompetitif, sering etika bisnis ditinggalkan semata-mata untuk mengejar keuntungan yang besar dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, atau untuk mendapatkan promosi jabatan dan terkadang untuk tetap dapat menduduki suatu jabatan. Untuk mempertimbangkan etika dalam mengambil keputusan, merupakan proses kegiatan pemikiran etika yang sangat mirip dengan suatu studi produktif. Kerangka yang ditawarkan oleh teori-teori etika menantang para manajer untuk mencari alternatif-alternatif dan untuk menyusun alasan-alasan untuk mendukung alternatif tersebut. Hal tersebut merupakan langkah yang penting dan krusial dalam lingkungan bisnis yang semakin kompleks akhir-akhir ini, dimana pengambilan keputusan yang baik akan berdampak finansial secara langsung dari suatu tindakan yang dilakukan, namun juga terhadap kepentingan bisnis jangka panjang yang tidak terlihat dengan jelas ataupun dampaknya terhadap masyarakat.
Perlukah etika dalam melakukan investasi? Jawabannya tentu saja perlu. Penekanan pada pencarian laba tidak harus menjadikan investor melupakan etika. Cukup sulit untuk menentukan sasaran etika ini. Pokok pikiran yang paling penting dalam hal ini adalah jangan lakukan investasi yang merupakan pengejaran laba dengan hanya berdasarkan spekulasi.
Dalam melakukan investasi kebanyakan investor mencari dan memfokuskan perhatiannya terhadap investasi yang aman dan menjanjikan keuntungan yang tinggi, hanya sedikit yang memperhatikan investasi yang beretika.
Apabila investor akan melakukan investasi yang berdasar etika, hendaklah perhatian utamanya ditujukan kepada produk dan jasa perusahaan tersebut, sebagai contoh: jangan melakukan investasi di perusahaan yang memproduksi bahan-bahan yang mengakibatkan penyakit atau merusak lingkungan. Selanjutnya sedapat mungkin dipelajari kemana dana yang diperoleh perusahaan tersebut disalurkan, misalnya investasi di reksadana dapat menjadi investasi yang tidak beretika apabila dana yang dihimpun diinvestasikan di perusahaan-perusahaan yang produksinya mengakibatkan penyakit atau merusak lingkungan..
Berbicara mengenai etika dalam kaitan dengan bisnis dan investasi, tidak cukup hanya dengan membahas teori-teori yang secara umum dianut pelaku bisnis atau para investor, akan tetapi juga perlu membahas penerapan dan pelaksanaannya dalam praktek bisnis, investasi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini akan dibahas beberapa ilustrasi mengenai praktek etika dalam berbagai segi kehidupan, yang bila diperhatikan secara mendalam akan menampakkan gejala upaya penghindaran yang disadari atau tidak dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat.
a. Benci Tapi Beli: Kasus Timor (Mobnas)
Benci tapi beli, proyek mobil Timor yang dikenal dengan proyek Mobnas (mobil nasional) oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dianggap sebagai proyek penyelundupan hukum yang dilakukan secara terang-terangan, dan tentunya melakukan pelanggaran di berbagai bidang hukum, mulai dari perpajakan sampai kaedah hukum internasional yang terdapat di komitmen Indonesia di WTO (World Trade Organization). Namun, tidak dapat disangkal bahwa dibalik itu mobil Timor termasuk mobil yang laku di pasar.
b. Anti Bank - Pro Deposito
Ketika krisis mulai melanda Indonesia, banyak orang yang berteriak anti konglomerat tapi dibalik itu sebagian dari mereka berlomba mendepositokan uangnya di bank-bank milik konglomerat. Ketika terungkap kasus-kasus yang membuka ketidaksehatan bank-bank di Indonesia, hampir semua orang memandang dengan sinis terhadap bank-bank milik konglomerat dan menganggap bahwa bank-bank tersebut merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi Indonesia. Namun dibalik itu, berbondong-bondong orang memasukkan uangnya di dalam deposito karena tingginya bunga bank pada waktu itu.
c. Benci Krisis Beli Dolar
Semua orang mengeluh terhadap krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia tapi bila kita perhatikan banyak sekali orang yang berlomba-lomba beli dolar. Money-changer dipenuhi oleh orang-orang, mulai dari pedagang sampai dengan ibu rumah tangga. Semua orang jadi ahli valuta asing dan ahli moneter, dan mengikuti perkembangan harga valuta asing dengan seksama untuk mencari keuntungan dari perdagangan valuta asing.
d. Benci Perusahaan Beli Saham
Contoh lainnya adalah banyaknya orang yang menganjurkan untuk tidak merokok, banyak yang benci rokok, namun kita lihat kenyataan bahwa saham perusahaan rokok mempunyai kapitalisasi paling besar di Bursa Efek, dan orang-orang berlomba membeli saham perusahaan rokok. Apakah ini melanggar ketentuan hukum? Tentu saja tidak, namun seperti dikatakan di atas, etika tidak dapat hanya dilihat dari sudut pandang hukum positif yang berlaku. Ini berkaitan dengan etika investasi seperti yang telah disebutkan di atas.
e. Eksploitasi Anak Dalam Bisnis - iklan, hiburan, film
Sementara hampir semua orang berteriak tentang perlindungan anak-anak, di televisi iklan yang menggunakan anak-anak semakin gencar. Eksploitasi anak masih merupakan hal yang sangat jarang diperhatikan di Indonesia, apalagi bagi para pelaku bisnis. Semakin maraknya iklan di televisi yang menggunakan anak, bahkan bayi, sebagai penarik konsumen, menandakan rancunya jalan pemikiran masyarakat dalam kaitannya dengan etika. Sebagian besar masyarakat belum dapat membedakan eksploitasi dengan pengejaran keuntungan yang tidak melanggar etika bisnis.


2.6 Contoh kasus

(ETIKA BISNIS TAK BERJALAN DI INDONESIA: ADA APA DALAM CORPORATE GOVERNANCE?)

Tulisan ini membahas berbagai kendala penerapan konsep CG (Corporate Governance) di Indonesia, dari sudut pandang etika bisnis. Bagian pertama meninjau ulang makna/pengertian konsep CG. Bagian kedua membahas perkembangan konsep CG berkaitan dengan pandangan umum mengenai pelaksanaan CG di Indonesia. Berbagai kendala penerapan CG di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan etika bisnis, dibahas pada bagian berikutnya, dan diakhiri dengan bagian penutup.
Berbagai isu yang berhubungan dengan Corporate Governance - disingkat CG- menjadi populer di Indonesia di penghujung abad ke-20, tepatnya setelah terjadinya krisis ekonomi dalam bulan Juni 1997. Isu semacam itu menguat kembali setelah runtuhnya beberapa raksasa bisnis dunia seperti Enron and WorldCom di AS1, dan tragedi jatuhnya HIH dan One-tel di Australia pada permulaan abad ke 21. Isu CG semakin gempar setelah berbagai lembaga keuangan multilateral, seperti World Bank dan ADB mengungkap bahwa penyebab krisis keuangan yang melanda berbagai negara, terutama di Asia, tak lain adalah buruknya pelaksanaan Corporate Governance. Dalam hal ini, Indonesia merupakan negara yang paling menderita serta paling lambat bangkit dari dampak tersebut (ADB 2000). Di Indonesia, krisis ekonomi ini telah berkembang dan bersifat multi dimensi, karena diikuti krisis politik serta berbagai masalah dalam negeri lainnya.
Hal ini diperparah oleh lemahnya mekanisme berbagai institusi penyangga sistem perekonomian negara. Keadaan menjadi semakin parah karena rendahnya kadar penegakan hukum sebagai benteng terakhir yang diharapkan dapat menjamin tegaknya aturan dan berjalannya sistem yang ada. Apalagi, larinya modal dalam negeri ke negara lain (capital flights) sangat besar jumlahnya, sehingga secara teknis menyebabkan Indonesia dianggap bangkrut. Dalam kondisi demikian, tidak mengherankan bila lembaga keuangan terbesar di dunia (IMF) datang menawarkan program penyelamatan ekonomi kepada Indonesia.
Lembaga ini mensyaratkan adanya perbaikan serta peningkatan praktik CG di Indonesia (Kurniawan & Indriantoro 2000). Letter of intent yang ditandatangani pemerintah RI bersama lembaga ini menjadi tonggak awal dimulainya reformasi sistem CG nasional secara legal-formal2. Hal ini diwujudkan melalui pembentukan ‘Komite Nasional Mengenai Kebijakan Corporate Governance’ melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Ekuin tahun 1999. Pada tahun berikutnya, dihasilkan kode etik untuk pelaksanaan CG melalui ‘Code for Good Corporate Governance’ (2000). Namun demikian, hingga tulisan ini selesai, penerapan kode etik itu belum bersifat wajib (mandatory) atau masih bersifat himbauan (optional) dan hanya ditujukan pada perusahaan yang tercatat di
pasar modal. Masalahnya sekarang, Corporate Governance itu harus seperti apa.

KENAPA CORPORATE GOVERNANCE?
Dari paparan di atas, pertanyaan paling mendasar yang muncul dari kalangan umum adalah; kenapa berbagai praktik yang dilakukan perusahaan (corporate) berhubungan dengan krisis ekonomi-nasional secara menyeluruh. Salah satu alternatif jawaban atas pertanyaan ini dapat dilihat dari sudut pandang organisasi sebagai sebuah sistem. Fenomena ini dapat diamati melalui pemahaman bahwa sebuah sistem terdiri dari berbagai komponen (sub-system) seperti “perusahaan” dan kelembagaan (institusi) lainnya yang akan berinteraksi di dalam sistem tersebut. Sebagaimana kutipan yang disajikan di awal tulisan ini, Adam Smith mengibaratkan sistem ini melalui permainan papan catur besar. Setiap bidak yang berada di papan permainan mempunyai fungsi/peranan serta aturan main (motion) yang berbeda-beda.
Misalnya, fungsi serta aturan main bidak ‘gajah’ dengan ‘kuda’ adalah berbeda, dan pemain berperan untuk menjaga agar semua bidak berfungsi/berperan dan berjalan sesuai dengan aturan mainnya, sehingga permainan dapat dilaksanakan secara baik. Sebagai sebuah sistem, permainan akan menjadi lancar dan menarik, jika semua komponennya berjalan sesuai dengan fungsi atau peranannya dan berinteraksi secara harmoni. Sebaliknya, jika bidak dan pemain tidak mengikuti aturan main yang ditetapkan, akan terjadi kekacauan (disorder) dengan akibat tidak tercapainya tujuan permainan yang diinginkan. Pada intinya, sistem adalah adalah kesatuan antar komponen sehingga bila satu komponen berjalan menyimpang, maka system akan menjadi kacau.
Dari metafora di atas, jelas bahwa CG sebenarnya merupakan suatu sistem, yang terdiri dari berbagai perangkat/kelembagaan serta aturan main (code of conduct) dan hukum yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan (cheks and balances) agar sistem dapat bekerja secara optimal. Secara umum, CG dapat dibedakan dengan fenomena manajemen lainnya melalui pemahaman istilah sederhana berikut. Manajemen dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang akan menjamin bahwa segala sesuatu “dilakukan secara benar” (doing things right) atau manajemen berhubungan dengan aktivitas manages the “things” (Takala 1998).
Sementara CG adalah mekanisme4 untuk “melakukan sesuatu yang benar, secara benar” (doing the right things right), dengan penekanan makna pada “the right things”. Melalui pembedaan yang sangat mendasar ini, terlepas dari setuju atau tidaknya seseorang, pembelajaran yang bisa dipetik dalam hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Konsep manajemen, merupakan hal yang sudah dikenal, diterapkan untuk jangka waktu panjang dan berkembang secara pesat. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, berbagai teknik manajemen telah menjadi semakin canggih dan variatif.
Tetapi konsep ini dianggap belum mampu menjawab pertanyaan; kenapa dengan manajemen yang canggih sekalipun, perusahaan kelas dunia seperti Enron bisa runtuh? Salah satu kelemahan dari konsep ini adalah tidak dipisahkannya prinsip yang “benar” dengan yang “salah” sebelum dilakukan (do) secara “benar”. Artinya, terlepas dari apakah sesuatu hal itu “benar” atau “salah” semuanya dikerjakan “secara benar” atau telah sesuai dengan prosedur. Dalam kasus Enron, misalnya, pengelola perusahaan melalui teknik yang canggih dan meng(make-up) sedemikian rupa terhadap kinerja usaha perusahaan sehingga mampu menutupi kondisi perusahaan yang sebenarnya.
Dibalik hal tersebut, sebagaimana terbukti belakangan, keadaan internal perusahaan ini jauh dari kondisi sehat (Zandstra 2002). Berbeda dengan konsep ini, CG memberikan penekanan pada the right things sebelum dikerjakan secara benar. Berkaitan dengan ini hal yang paling mendasar adalah sebelum memutuskan atau melakukan sesuatu perlu dipertimbangkan apakah hal tersebut “benar” (right) atau “salah” (wrong) sebelum dilakukan (do) dengan “benar”. Dengan demikian, konsep CG sama sekali tidak berlawanan dengan konsep manajemen, tetapi lebih bersifat saling mendukung satu sama lainnya.
Tegasnya, melakukan “sesuatu secara benar” adalah penting, tetapi memutuskan apakah yang akan dilakukan itu adalah “sesuatu yang benar” merupakan hal yang lebih penting. Adalah sesuatu yang mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan jika kita berbicara mengenai kriteria suatu dikotomi antara sesuatu yang “benar” dengan “salah”. Menurut penulis, hal ini lebih bermuara kepada masalah moralitas, dan dalam konteks CG, aplikasi dari dikotomi ini berkaitan dengan etika bisnis individu yang berada di dalam sebuah sistem (akan dibahas lebih detail pada bagian kendala penerapan CG).

CG: KONSEP LAMA YANG MENJADI TREND KEMBALI
Secara konseptual, keberadaan konsep CG dapat ditelusuri balik hingga ke akhir abad 18 masehi. Para ahli di bidang CG sepakat untuk menyatakan bahwa Adam Smith (1776) merupakan filosof pertama yang dianggap menjadi peletak dasar dalam memformalisasikan konsep CG. Melalui perkembangannya hingga permulaan abad ke 21, konsep CG telah melalui dua tahapan generasi (Denis & McConnel 2003). Generasi pertama dibidani oleh Berle dan Means (1932) dengan penekanan pada konsekuensi dari terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan kontrol atas suatu perusahaan modern. Pasangan lawyer ini berpendapat sejalan dengan berkembangnya perusahaan menjadi semakin besar, maka pengelolaan perusahaan yang semula dipegang oleh pemilik (owner-manager) harus diserahkan pada kaum professional.
Dalam hal ini isu yang dianggap dominan adalah; perlunya suatu mekanisme untuk menjamin bahwa manajemen (agent), yang merupakan orang gajian pemilik modal (principal), akan mengelola perusahaan sesuai dengan kepentingan pemilik. Pesan penting dari penjelasan ini adalah terdapatnya potensi konflik kepentingan (conflict of interests) antara pihak agent dan principal dalam suatu perusahaan. Perkembangan signifikan dalam konsep CG pada tahapan generasi pertama ini ditandai dengan kemunculan para ekonom hampir setengah abad kemudian melalui Jensen dan Meckling (1976).
Kedua ahli ini terkenal dengan teori ke-agenan (Agency Theory) yang menandai tonggak perkembangan riset yang luar biasa di bidang CG. Melalui teori ini, berbagai bidang ilmu sosial lainnya -seperti; sosiologi, manajemen strategik, manajemen, keuangan, akuntansi, etika bisnis, dan organisasi- mulai menggunakan pendekatan teori keagenan untuk memahami fenomena CG. Dengan demikian perkembangan CG telah menjadi multi dimensi dibanding periode sebelumnya, dimana pemanfaatan teori dimaksud masih didominasi oleh para ahli hukum (legal) dan ekonom (economist).
Pada era generasi pertama ini pula muncul berbagai derivasi teori keagenan hasil dari sintesa -melalui proses dialektika- dari berbagai bidang keilmuan di atas. Beberapa diantaranya adalah; principal-agent theory, stakeholder theory, stewardship theory, maupun normative agency theory dan sebagainya. Perkembangan yang secara efektif dianggap sebagai awal munculnya generasi kedua CG ditandai dengan hasil karya La-Porta dan koleganya pada tahun 1998 (Denis & McConnel 2003). Secara signifikan LLSV mengidentifikasi kecenderungan terdapatnya konsentrasi kepemilikan perusahaan pada pihak-pihak tertentu. Berbeda dengan Berle dan Means (1932), menurut LLSV penerapan CG di suatu negara sangat dipengaruhi oleh kondisi perangkat hukum di negara tersebut dalam melindungi kepentingan berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan, terutama pemilik minoritas. Jika sebelumnya konflik kepentingan dianggap terjadi antara pemilik modal (principal) dengan pengelola (agent), LLSV mempunyai gagasan (thesis) bahwa di berbagai negara lainnya diluar AS dan Inggris, kepemilikan perusahaan sangat terkonsentrasi. Akibatnya, masih menurut LLSV, konflik kepentingan akan terjadi antara “si kuat” (pemilik mayoritas) dengan “si lemah” (pemilik minoritas). Menurut LLSV, sistem hukum yang tidak kondusif dan belum berpihak pada kepentingan umum, mengakibatkan konflik ini menjadi semakin tajam (intens) sehingga berpotensi merusak sistem perekonomian negara secara keseluruhan.
Pada tahapan generasi kedua inilah beberapa ahli menyadari - misalnya OECD (1999)- bahwa terdapat perbedaan yang fundamental pada sistem CG di setiap negara, sehingga memunculkan konsep divergensi (divergence) dari CG sistem. Beberapa ahli mulai mengembangkan teorinya dengan mengaitkan hal tersebut pada masalah perbedaan budaya -misalnya Licht, Goldsmith & Schwartz (2001)- serta sejarah perkembangan hukum dan struktur kelembagaan -seperti Bebchuk & Roe (1999)- sebagai faktor yang dominan. Namun demikian, terlepas dari berbagai tahapan perkembangan CG, permasalahan yang paling mendasar adalah terdapatnya konflik kepentingan (conflict of interests) yang berpotensi menimbulkan biaya keagenan (agency costs) yang sangat signifikan, sehingga dikhawatirkan akan menurunkan nilai perusahaan.
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah CG akan selalu muncul jika terdapat konflik kepentingan di dalam satu perusahaan. Sementara konflik kepentingan disebabkan oleh adanya ketidak seimbangan “kekuatan” antara berbagai pihak yang berhubungan. Dalam kaitan ini Williamson (1985) berpendapat bahwa konflik demikian secara psikologis di dasarkan pada asumsi bahwa manusia bersifat oportunistik, yaitu kecenderungan untuk memanfaatkan kesempatan dengan tujuan memperoleh keuntungan dari suatu posisi/keadaan tertentu namun dengan merugikan pihak lainnya.
Implikasinya, dengan terjadinya ketidakseimbangan kekuatan dan adanya peluang untuk mengeksploitasi sesuatu kepentingan, individu akan bersifat oportunistik serta akan berdampak luas pada terganggunya keseimbangan suatu sistem. Untuk itu dibutuhkanlah seperangkat aturan main yang jelas agar berbagai perangkat organisasi dalam sebuah sistem (CG system) dapat menjalankan fungsinya untuk menjamin terjaganya kepentingan berbagai pihak yang berhubungan dengan perusahaan. Dengan berjalannya mekanisme ini, diharapkan dapat menghasilkan dampak lanjutan yang positif terhadap perkembangan perekonomian suatu negara untuk tercapainya kemakmuran masyarakat (the wealth of the nation) seperti kondisi yang dimaksud oleh Adam Smith.

KONDISI PENERAPAN CG DI INDONESIA
Para ahli sepakat menyatakan bahwa sistem CG yang dianut Indonesia mengikuti pola Continental European system. Klaim ini dibuktikan dengan berbagai ciri berikut ini (e.g. La Porta et al. 1998; Husnan 2001; Claessens, Djankov & Lang 2000); (1) dianutnya sistem dan perangkat hukum yang bersumber pada tradisi French-Civil Law, (2) digunakannya dua struktur dewan perusahaan (two-tier board system), (3) terkonsentrasinya kepemilikan perusahaan (concentrated ownership structure), dan (4) dominannya sumber pembiayaan perusahaan dari luar perusahaan berupa hutang (external financing). Munculnya berbagai karakteristik ini, dalam hubungannya dengan sistem CG yang dianut Indonesia, dapat dijelaskan dengan menggunakan teori path-dependence (Bebchuk & Roe 1999).
Menurut teori ini struktur suatu perusahaan dan ekonomi di suatu negara sangat ditentukan oleh struktur awal dimulainya kegiatan perekonomian negara tersebut, dan pada tahapan berikutnya struktur hukum dan perundang-udangan akan berjalan mengikuti pola ini. Sejarah membuktikan munculnya perusahaan berskala relatif besar di Indonesia dimulai pada periode setelah kemerdekaan, dengan dinasionalisasikannya berbagai perusahaan milik Belanda oleh pemerintah Indonesia (Husnan 2001). “Penggantian” kepemilikan ini hanya ditandai dengan “pemindahan” kepemilikan, karena sejak saat itu “struktur perusahaan” maupun hukum perusahaan - serta perangkat lainnya- menggunakan sistem yang di ciptakan oleh Belanda.
Walaupun di akhir paruh 1990an telah dikeluarkan berbagai undang- undang baru -misalnya Undang-undang tentang Perseroan Terbatas atau Undang-undang Kebangkrutan- namun semua perundang-udangan dan praktik bisnis di Indonesia masih berdasarkan pada pola yang di adopsi dari Belanda (Lindsey 2002). Tegasnya, sistem pengelolaan perusahaan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor ketergantungan (path dependencies) pada struktur perusahaan dan hukum yang diwarisi dari Belanda. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, problem mendasar dari CG yang dimulai sejak era Adam Smith, adalah akibat dari pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian terhadap perusahaan. Kondisi ini jelas akan menimbulkan “konflik kepentingan” yang dapat mempengaruhi upaya pencapaian tujuan perusahaan.
Untuk itu dibutuhkan suatu mekanisme yang bekerja di dalam suatu sistem yang berfungsi sebagai “kekuatan pengendali” (disciplinary forces) agar konflik kepentingan tidak merugikan perusahaan ataupun berbagai pihak lainnya yang mempunyai kepentingan lain dengan perusahaan (stakeholders). Di dalam setiap sistem CG, mekasnime kontrol yang bekerja dapat dibedakan atas dua kelompok; pertama, mekanisme eksternal dari perusahaan (the market for corporate control), serta kedua mekanisme yang bersifat internal dalam perusahaan (internal control mechanisms). Berdasarkan pendekatan “no-one-size-fits-all” (OECD 1999), mekanisme kontrol dalam sistem CG yang dianut oleh suatu negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara lainnya. Misalnya, diberbagai negara Anglo-Saxon yang sistem keuangannya berbasis pasar (market- oriented) dapat lebih mengandalkan mekanisme yang pertama (Moerland 1995). Alasannya adalah karena hukum pasar (pasar modal, produk dan tenaga kerja) akan “mendisiplinkan” perusahaan yang tidak mematuhi aturan CG, disamping mekanisme internal yang juga bekerja secara baik (properly).
Sebaliknya di negara-negara yang sedang berkembang, dan umumnya mempunyai sistem keuangan berbasis jaringan (network-oriented), belum dapat sepenuhnya mengandalkan mekanisme pasar sebagai perangkat kontrol. Salah satu alasannya adalah karena mekanisme pasar dan perangkat pendukungnya belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendisiplinkan perusahaan, sebagaimana halnya kondisi di negara maju. Hal yang sama juga terjadi pada mekanisme kontrol internal yang relatif tidak efektif, misalnya karena tidak independennya dewan komisaris dari intervensi pemilik saham mayoritas. Secara umum beberapa karakteristik utama CG sistem yang ditemukan di Indonesia (Lukviarman 2001), dapat dilihat pada bahagian lampiran tulisan ini.

KENDALA PENERAPAN CG DI INDONESIA
Uraian yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sistem CG yang relatif spesifik. Walaupun berbagai pola yang berhubungan dengan sistem tersebut -seperti perangkat hukum dan struktur perusahaan- masih mengacu kepada pola Belanda, namun penerapan CG di Indonesia berbeda secara signifikan dengan negara-negara kontinental Eropa lainnya (Husnan 2001). Survey yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir (La Porta 1998; CSLA 2001) membuktikan bahwa diantara sembilan negara di Asia, Indonesia berada di peringkat terakhir dalam masalah kondusifnya iklim berusaha, terutama menyangkut pelaksanaan dan kepastian hukum. Dibanding Filipina, yang juga menganut sistem perundang-undangan berbasis French Civil-law tradition, peringkat Indonesia secara rata-rata masih lebih rendah.
Implikasinya adalah bahwa masalah hukum bukan satu-satunya faktor yang dominan atau terdapatnya faktor lain yang ikut berinteraksi di dalam CG sistem di Indonesia yang turut mempengaruhi efektifitas penerapannya. Dari sudut legal-formal, Tabalujan (2002) berpendapat bahwa Indonesia sudah mempunyai perangkat hukum dan lembaga pendukungnya yang cukup, bahkan sudah melebihi jumlah yang seharusnya dibutuhkan. Menurut ahli ini, yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah perubahan yang mendasar terhadap budaya hukum (legal culture), sehingga masyarakat dapat menjadi lebih taat hukum serta taat asas. Kondisi ini dibutuhkan agar perangkat hukum dan institusi pendukungnya dapat berfungsi sesuai dengan tujuan semula yang telah ditetapkan. Tabalujan (2002) lebih lanjut menjelaskan bahwa salah satu alasan tidak berfungsinya hukum di negara berkembang, terutama Indonesia, karena hukum yang diadopsi dari negara Barat tersebut berbenturan dengan budaya lokal/hukum informal (legal culture) sebagai akibat dari tidak diperhatikannya faktor budaya masyarakat Indonesia. Tabalujan (2002) berkeyakinan bahwa budaya lokal seperti “patrimonialism” merupakan elemen penting budaya masyarakat Indonesia yang berperanan dalam mempengaruhi perilaku CG di Indonesia. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa nilai budaya tradisional lebih berperan sebagai aturan yang dominan, dibandingkan dengan aturan hukum yang terinstitusionalisasi secara legal-formal.
Lebih dominannya pengaruh nilai-nilai informal dibanding aturan legal-formal, menurut penulis, tidak akan membawa dampak negatif jika keduanya didasarkan pada prinsip dasar moral yang jelas. Karena secara umum, semua aturan disusun dengan berpanduan pada virtue yang dianggap dapat meningkatkan kemaslahatan umat manusia, atau demi kepentingan bersama. Dengan dasar ini, penulis melihat bahwa keduanya mempunyai tujuan yang sama; “untuk menjaga agar segala sesuatu dikerjakan secara benar, sesuai dengan tujuannya dan tanpa merugikan pihak lain”.
Namun deviasi dapat terjadi di dalam praktik, dimana dominasi sikap opportunistik para pelaku bisnis sebagaimana disinyalir oleh Williamson (1985) mengakibatkan beberapa pihak memanfaatkan peluang dengan merugikan pihak lainnya. Di dalam konteks CG, hal ini jelas berpotensi akan mengganggu keseimbangan sistem, sehingga mekanisme kontrol harus bekerja untuk melakukan penyesuaian kembali. Namun demikian, karena umumnya mekanisme kontrol CG yang ada tidak dapat bekerja secara optimal di Indonesia (Lukviarman 2001), maka pihak mayoritas yang “sangat kuat” tidak mempunyai “kekuatan penyeimbang”.
Tegasnya, disebabkan oleh berbagai pihak yang berhubungan dalam sistem tersebut tidak mengikuti aturan main yang ada, maka sebagaimana metofora “papan catur” umat manusia Adam Smith, terjadilah disorder yang akan mengakibatkan seluruh masyarakat menerima dampak negatifnya. Berdasarkan uraian di atas, dari suatu sisi yang paling manusiawi, penulis berpendapat bahwa kendala paling mendasar dalam penerapan CG di Indonesia berhubungan dengan moral dan etika. Misalnya, perusahaan publik di Indonesia umumnya berpola kepemilikan yang terkonsentrasi (Lukviarman 2003a) dengan basis hubungan keluarga (family ownership) serta pada umumnya bergabung dalam suatu jaringan kelompok bisnis berbasis keluarga (family business groups). Dengan bercirikan keluarga sebagai pemilik mayoritas perusahaan, maka kekuatan tawar menawar pihak ini menjadi sangat kuat. Terlepas dari efektif atau tidaknya perangkat hukum dan peraturan yang ada mampu membatasi ruang gerak mereka, tanpa basis moral dan etika yang kuat, peluang untuk mendahulukan kepentingan kelompok -pemilik mayoritas- dengan mengorbankan kepentingan pihak lain –misalnya pemilik minoritas, bahkan masyarakat/publikmenjadi sangat besar.
Fenomena sakitnya berbagai bank di Indonesia beberapa waktu setelah periode krisis, sehingga harus dirawat BPPN, dapat dijadikan suatu kasus untuk mengamati terjadinya praktik ini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap kelompok bisnis/ konglomerat di Indonesia paling tidak memiliki atau mempunyai hubungan afiliasi paling tidak dengan satu buah bank (Patrick 2002). Secara teoretis, sebagai lembaga yang mendasarkan aktivitasnya pada asas “kepercayaan”, bank berfungsi sebagai mediator dalam memfasilitasi kepentingan para deposan/debitur dengan kreditur. Namun dalam kasus ini, kepercayaan dimaksud “dimanfaatkan” oleh pemilik mayoritas kelompok bisnis dimana lembaga perbankan ini terafiliasi, dengan menjadikan lembaga perbankan tersebut sebagai “kasir” atau “sapi perahan” (cash cows) bagi kepentingan mereka.
Dengan memanfaatkan momentum deregulasi perbankan, para konglomerat ini melakukan berbagai praktik curang dengan cara menyerap dana masyarakat (deposan) untuk kemudian menyalurkankannya ke perusahaan lainnya yang berada di bawah bendera kelompok bisnis mereka sendiri. Dengan cara inilah para konglomerat tersebut dapat memperlebar atau melakukan diversifikasi terhadap “gurita” bisnis mereka, tanpa memperhatikan etika. Ironinya, perilaku ini bahkan berlangsung ditengah adanya aturan legal formal yang membatasi ruang gerak mereka (BMPK). Sekali lagi, sekuat apapun aturan yang ada, landasan penting dalam hal ini adalah seberapa jauh moral dan etika digunakan di dalam proses pengambilan keputusan.

CG DAN ETIKA BISNIS
Sternberg (1994) mendefinisikan etika bisnis sebagai suatu bidang filosofi yang berhubungan dengan pengaplikasian ethical reasoning terhadap berbagai praktik dan aktivitas dalam berbisnis. Dalam kaitan ini, etika bsinis merupakan upaya untuk mencarikan jalan keluar atau paling tidak mengklarifikasikan berbagai moral issues yang secara spesifik muncul atau berkaitan dengan aktivitas bisnis tersebut. Dengan demikian prosesnya dimulai dari analisis terhadap the nature and presuppositions of business hingga berimplikasi sebagai prinsip-prinsip moral secara umum dalam upaya untuk mengidentifikasi apa yang “benar” di dalam berbisnis. Sternberg (1994) memberikan argumen bahwa prinsip-prinsip moral ini akan menjadi kriteria di dalam menilai berbagai tingkah laku bisnis yang dianggap acceptable, yang akan diaplikasikan secara konsisten oleh seluruh pelaku bisnis, dimana dan kapan saja.
Untuk menjelaskan konsep etika bisnis, Sternberg (1994) memperkenalkan pendekatan teological (teological approach) di dalam memahami hubungan antara konsep CG dengan etika bisnis (business ethic). Secara umum, pendekatan dimaksud merupakan proses mengidentifikasi dan menjelaskan berbagai aktivitas manusia dengan berpedoman pada tujuan (ends/aims/goals/objectives/purposes) di dalam melakukan sesuatu aktivitas. Artinya di dalam penilaian etika bisnis pemahaman terhadap “tujuan” dari suatu aktivitas akan sangat menentukan baik atau tidaknya (goodness) aktivitas tersebut. Dengan kata lain ‘just as a good object is identified by reference to the object’s purpose, what counts as the proper conduct of an activity depends on the activity’s purpose’ (Sternberg 1994, p. 4).
Tujuan perusahaan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk “memaksimumkan kesejahteraan si pemilik dalam rentang waktu jangka panjang melalui aktivitas penjualan barang dan/atau jasa” (Sternberg 1994, p. 32). Prinsip etika bisnis dalam kaitan ini berhubungan dengan berbagai upaya untuk menggabungkan berbagai nilai-nilai dasar (basic values) dalam perusahaan, agar berbagai aktivitas yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan. Secara lebih jelas, mekanismenya berjalan sebagai berikut. “Memaksimumkan kesejahteraan si pemilik dalam jangka panjang”, berhubungan dengan dimensi waktu yang relatif panjang serta menyangkut sustainability. Hal ini membutuhkan adanya “kepercayaan” atau “saling mempercayai” (trust) dari berbagai pihak yang berhubungan dengan perusahaan (stakeholders). Kalimat “kesejahteraan pemilik” merupakan derivasi dan perwujudan dari “hak kepemilikan” (ownership) yang muncul dari adanya penghargaan (respect) terhadap “kepemilikan pribadi” (property rights). Uraian di atas lebih memberikan penekanan pada “hak” si pemilik atas perusahaannya, tanpa memberikan bobot berarti pada sisi “kewajiban” sebagai pemilik perusahaan maupun perusahaan sebagai organisasi.
Dari sisi lain mata uang yang sama, pemilik perusahaan juga merupakan moral agents yang melakukan “aktivitas” di dalam serta “berintekasi” dengan masyarakat, sehingga mempunyai tanggungjawab moral terhadap lingkungannya. Tanggungjawab moral sebagai “pemilik perusahaan” mengharuskan mereka untuk mempertimbangkan kepentingan pihak lain yang berhubungan dengan aktivitas perusahaan (stakeholders). Dengan demikian, tanggungjawab ini relatif terbatas pada berbagai pihak seperti pemilik minoritas, karyawan, investor, kreditur, supplier, konsumen dan sebagainya. Sementara tanggungjawab moral sebagai “perusahaan” membawa implikasi perlunya kepekaan perusahaan di dalam membuat berbagai keputusan yang membawa dampak sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Luasnya cakupan tanggungjawab ini biasanya dikemas melalui mekanisme “tanggungjawab sosial perusahaan” (Corporate Social Responsibility/CSR). Walaupun secara konseptual terdapat pembedaan klasifikasi tanggungjawab moral antara “pemilik” dengan “perusahaan”, menurut penulis keduanya saling berhubungan dan mempunyai dasar moralitas yang sama.
Dalam hal ini penulis menggunakan argumen berdasarkan salah satu prinsip keutamaan (virtue) yang dikemukan Socrates bahwa “keutamaan itu satu adanya”. Walaupun kaum sofis berpendapat bahwa “kebenaran” adalah bersifat relatif, semu serta sangat tergantung pada siapa yang memandangnya, namun pemikiran yang lebih mendalam dengan menggunakan moral reasoning akan mampu menemukan jawaban (moral judgement) bahwa hanya ada satu kebenaran. Menurut Kusen (2002, 227) “kebenaran tidak terikat oleh ruang dan waktu. Kapan, dimana, dan siapapun yang memandangnya kebenaran itu tetap kebenaran dan ia satu adanya”. Implikasi penyataan ini jika dikaitkan dengan runtuhnya kejayaan Enron di AS dapat dilihat pada kenyataan bahwa memanipulasi data-data keuangan untuk kepentingan apapun dan siapapun adalah “salah” (tidak benar), jika ditinjau dari berbagai dimensi ini. Hal ini memberikan justifikasi bahwa sesuatu kebenaran –dan dalam hal ini berkaitan dengan etika bisnis- adalah universal adanya. Dalam kaitannya dengan penerapan CG di Indonesia, jelas bahwa berbagai praktik seperti penggelembungan nilai proyek untuk memperoleh pembiayaan bank, memperoleh izin usaha tanpa harus melalui prosedur standar, tingkat pencemaran lingkungan yang di luar ambang batas toleransi, jelas merupakan praktik yang salah.
Dalam masalah ini problematika paling umum biasanya terjadi melalui pertentangan antara “kepentingan pribadi dan kelompok atau keluarga” disatu sisi dengan “kepentingan masyarakat luas/publik” di sisi lainnya. Tanpa dasar moralitas dan etika yang baik serta tingginya sifat opportunistik yang dimiliki individu, menyebabkan kalangan pemilik perusahaan bersikap menjadi ethnocentric. Dengan dasar demikian mereka akan mendahulukan kepentingan pribadi dan/atau kelompok di atas kepentingan orang banyak, walaupun tindakan yang dilakukan adalah salah. Tindakan ini semakin membahayakan jika penegakan hukum dan aturan perundangan lainnya yang ditujukan sebagai mekanisme kontrol perilaku pebisnis, tidak dapat ditegakkan. Kondisi inilah yang pada akhirnya menyebabkan rapuhnya sendi-sendi perekonomian, melemahnya institusi, mandulnya sistem hukum, yang pada gilirannya akan merusak sistem perekonomian nasional secara keseluruhan.

Krakteristik Umum Penerapan CG Sistem di Indonesia:
1. Kepemilikan perusahaan terkonsentrasi pada individu atau keluarga, sehingga pihak ini mempunyai pengaruh kuat untuk menentukan arah perusahaan. Akibatnya problem keagenan (the agency problem) lebih terarah pada benturan kepentingan antara pemilik mayoritas ini dengan pemilik minoritas. Secara umum pemilik saham minoritas selalu berada pada posisi yang lemah.
2. Kepemilikan saham dengan penguasaan mayoritas oleh keluarga, diikuti dengan ikut campurnya anggota keluarga atau orang dekat kepercayaannya untuk menduduki posisi direksi dan/atau komisaris di dalam suatu perusahaan. Akibatnya posisi komisaris, yang seharusnya menjadi pengawas manajemen, menjadi tidak kapabel serta tidak independen di dalam menjalankan tugasnya.
3. Kepemilikan saham keluarga juga diikuti dengan berkembangnya kelompok bisnis keluarga berpola konglomerat (conglomeration) dengan bidang usaha yang sangat ter-diversifikasi. Berbagai perusahaan yang menjadi anggota kelompok bisnis tersebut dikuasai melalui “penguasaan bertingkat dengan pola piramida” (pyramidal ownership structure).
4. Perusahaan publik di Indonesia pada umumnya mempunyai tingkat hutang yang sangat besar dan sebahagian besar dalam bentuk mata uang asing yang tidak dilindung-nilaikan (un-hedge), sehingga sangat rentan terhadap perubahan kondisi perekonomian. Pada beberapa kasus, dana pinjaman yang diperoleh dialokasikan pada kegiatan investasi lainnya yang tidak produktif, sehingga menurunkan nilai perusahaan.
5. Pasar modal relatif kecil dan tidak “likuid” sehingga tidak mampu secara efektif berperan sebagai mekanisme kontrol eksternal dalam upaya penerapan prinsip CG. Untuk mengatasinya, kelompok bisnis (konglomerat) menjadikan organisasi ini sebagai internal capital market dalam memfasilitasi pemindahan dana dari berbagai perusahaan dalam kelompok bisnis mereka.
6. Kombinasi antara relatif kecilnya pasar modal Indonesia dengan sedikitnya proporsi kepemilikan perusahaan (dalam bentuk) saham yang dijual kepada publik, membuat pemilik mayoritas berada pada posisi yang sangat kuat. Terutama dengan tidak mampunya mekanisme kontrol eksternal lainnya, seperti merger dan akuisisi, untuk ikut mendisiplinkan perusahaan yang tidak menerapkan prinsip CG yang sehat.
7. Lemahnya penegakan hukum dan lembaga pendukungnya di dalam menjaga berjalannya sistem secara benar, sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan. Kondisi ini semakin memperlemah pemilik minoritas namun, sebaliknya, akan memperkuat posisi pemilik saham mayoritas untuk mengeksploitasi sumber daya perusahaan untuk kepentingannya, namun merugikan kepentingan pihak lainnya (terutama pemegang saham minoritas).
8. Belum terdapat upaya perbaikan menyeluruh yang mencakup pembenahan seluruh komponen sistem CG guna mendukung terlaksananya penerapan mekanisme kontrol untuk menjamin berjalannya sistem ini secara seimbang dan berkesinambungan. Sumber: Lukviarman (2001)

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara umum dapat disimpulkan bahwa, disamping berbagai masalah operasional yang berkaitan dengan berbagai infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung terlaksananya CG secara baik, kendala paling utama justru berada pada sisi “manusianya” atau individu yang berada dalam sistem tersebut. Argumen ini didasarkan pada kenyataan bahwa seberapa canggih pun perangkat sistem yang dimiliki tidak akan mampu memberikan hasil optimal, jika tidak diiringi oleh kemauan para individu/ pebisnis untuk patuh atau taat asas terhadap aturan main yang telah digariskan. Lebih lanjut, karena penekanan sistem CG berdasarkan pada prinsip “keseimbangan”, maka kekuatan pengendali untuk melakukan checks and balances terhadap berbagai aktivitas bisnis mutlak diperlukan.
Melalui mekanisme CG yang dirancang sesuai dengan karakteristik suatu masyarakat, kekuatan ini hanya akan berfungsi optimal jika semua individu yang terkait dengan berbagai elemen dalam sistem tersebut berpedoman pada aspek moralitas atau etika di dalam melaksanakan fungsi dan tanggungjawabnya masing-masing. Untuk itu, diperlukan adanya suatu pedoman etika bisnis yang jelas dan terinci agar setiap pelanggaran moral bisa dipertanggung jawabkan di hadapan hukum formal. Jika tidak, sejarah akan mengulanginya. bekali mahasiswa dengan pendidikan moral serta etika bisnis agar menjadi pebisnis yang beretika serta konsisten dengan norma-norma yang berlaku. Hal ini sejalan dengan harapan Afiff (2001, p. 77) agar lembaga perguruan tinggi “lebih mampu mencetak insan akademis yang kecerdasan intelektualnya setara dengan kepekaan nuraninya”. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik atau buruk. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.
Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.

3.2 Saran
Dalam hal ini etika dalam berbisnis sangat diperlukan demi menjaga kesadaran individu-individu untuk tidak melakukan pelanggaran etika yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Etika dalam berbisnis disini juga sangat diperlukan karena dapat menjaga stabilitas kinerja atau peningkatan moral agar terjadi peningkatan dalam segala aspek bisnis. Hal seperti pengaturan tentang tata cara peningkatan solusi dalam pemecehan masalah bisnis juga merupakan alasan mengapa etika bisnis diperlukan.

0 komentar:

Posting Komentar